Translate

Friday 21 September 2018

Titik Terendah

Did you ever be so mad at you're self? like why tf did i let that happen? HOW TF did i let that happen?

Pernah ga sih ngalamin titik terendah dalam hidup?

Semua orang pasti pernah, gak terkecuali gw. Titik terendah hidup terjadi di tahun 2011. Saat itu rasanya dunia gw kaya jungkir balik, gatau arah, pokoknya bener bener terpuruk bgt tapi Alhamdulillah nya ada ibu yg selalu ngasih kekuatan sehingga perlahan gw bisa naik dan meninggalkan si titik terendah itu.

Sebenarnya tahun-tahun setelahnya pun ujian hidup berat tapi gak seberat tahun 2011.

Dan hari ini gw merenung. Apakah gw kembali tercebur di kubangan titik terendah itu?

Sebenernya titik ini bermula pada akhir 2017, saat itu Allah sedang menguji dengan ujian yang datangnya tidak di sangka-sangka. Kejadian itu seperti tamparan yang begitu keras buat gw.

Memasuki tahun 2018, ujian yang datang terus mengalir. Bukan uang yg mengalir tapi ujian huhu -_- sampe di bulan Agustus-September ini gw ngerasa kembali ke titik terendah itu.

Sunday 4 February 2018

Kepergian Ares

"Res, menurut lo lebih baik ditinggalkan atau meninggalkan?" tanyaku.

"Meninggalkan" jawab Ares.

Dan terjadilah, kini Ares benar-benar pergi.

Friday 23 June 2017

Ditinggal Pas Lagi Sayang Sayangnya

Tentang Dee,

Tentang Ares,

Tentang di tinggal pas lagi sayang-sayangnya.

Delapan bulan lalu saat Dee memutuskan kembali bergabung dengan tim VIXION, ia ragu apakah itu pilihan yang tepat atau salah karena yang tersisa disana hanyalah masa lalu dan orang-orang baru yang tidak ada artinya untuk Dee. Tapi siapa yang tahu bahwa keputusannya kala itu akan menuntunnya untuk bertemu seseorang yang begitu spesial. Bahkan untuk beberapa hal menjadikannya kuat bertahan di tim itu.

Saat pertama kali Dee datang, Ares menyapanya ramah. Menurut Dee, Ares adalah orang yang menyenangkan tapi sedikit sombong bahkan cenderung galak dan ceplas ceplos. Ya setidaknya itu adalah kesan setelah beberapa hari Dee mengenal Ares.

Canggung. Mungkin itu kata yang lebih tepat untuk menggambarkan hubungan awal pertemanan mereka.

Bagaimana tidak, walau mereka duduk di satu meja yang sama dan duduk saling berhadapan hampir setiap hari, namun tidak pernah ada obrolan yang terdengar dari keduanya, mereka hanya bicara seperlunya itupun masalah pekerjaan, diluar itu mereka seperti tidak saling mengenal. Benar, benteng canggung di antara keduanya begitu kokoh sehingga hal itu membuat mereka kalah dan larut dalam kesunyian.
*fyi, di meja itu terdapat empat orang dan dua orang duduk saling berpasangan*

Ares. Sebenarnya adalah orang yang cerewet, di sela-sela waktu kerja ia selalu bercerita ini-itu. Namun Dee memilih tidak terlibat dengan cerita dan obrolan Ares. Karena apa yang menjadi topik cerita Ares sangatlah bertolak belakang dengan Dee. Bahkan Dee pernah bersumpah dia dan Ares tidak akan pernah bisa menjadi teman dekat.

Tapi semua tergantung waktu.

Di suatu jam makan siang, Ares tiba-tiba mengajak Dee untuk pergi makan keluar. Dee kaget, bukannya dia tidak mau menerima ajakan Ares, hanya saja sebenarnya Dee canggung jika makan siang hanya berdua dengan Ares. Kenapa pula Ares tiba-tiba mengajaknya makan siang di luar? Hanya berdua pula?
Tapi alih-alih menolak, Dee malah mengiyakan ajakan Ares. Dee merasa tidak enak jika menolaknya karena mungkin Ares akan mengomentarinya sombong, angkuh, jutek, tidak bersahabat, dll.

Tapi siapa yang tahu, dari sanalah terjadi obrolan-obrolan yang sebelumnya tidak pernah meteka bicarakan. Sunyi perlahan tergantikan oleh riuh. Canggung perlahan tergantikan oleh nyaman.

Dee mulai mengenal Ares dari apa yang telah Ares ceritakan tentang dirinya, begitupula Ares mulai mengenal siapa itu Dee. Mereka saling berbagi cerita. Tentang diri masing-masing. Membantu memecah dinding kecanggungan yang terlanjur kokoh di antara keduanya.

Hari ke hari keduanya mulai bisa mencairkan suasana.

Walaupun masih sedikit canggung, namun ini kemajuan yang cukup signifikan bagi keduanya. Karena mereka rekan satu tim, jadi sangatlah penting untuk berkomunikasi.

Dilain waktu, Dee yang dulu selalu beralasan tidak hadir jika tim mengadakan acara diluar kini mulai tertarik untuk ikut.

Adapun setiap pergi keluar, Dee selalu di bonceng oleh Ares. Entah kenapa, semua orang di tim pun sudah tahu jika jok motor Ares adalah milik Dee.

Lagi-lagi masalah waktu.

Karena hampir setiap hari duduk berhadapan, mau tidak mau yang terdengar oleh telinga Dee adalah suara Ares. Mau tidak mau yang dilihatnya setiap medengok ke depan adalah wajah Ares. Mau tidak mau ia mulai terbiasa dengan suasana seperti itu. Mau tidak mau ia mulai terbiasa dengan Ares berada di dekatnya.

Tapi lagi-lagi masalah waktu, setidak akrabnya seseorang jika mereka terus bersama maka akan memunculkan perasaan saling terbiasa. Saling bergantung.

Singkat cerita, tanpa sadar Dee sudah sangat akrab dengan Ares.  Entah sejak kapan rasa canggung diantara mereka sudah tersingkirkan oleh rasa nyaman. Kemana-mana mereka selalu berdua. Dimana ada mereka disitu ada tawa. Jika dulu meja mereka selalu sepi, sekarang setiap menit ada saja yang menjadi bahan obrolan keduanya. Ada saja sesuatu yang membuat mereka tertawa. Tetapi hubungan keduanya tidak selalu tentang tawa. Tak jarang Dee dan Ares bertengkar. Bahkan akhir-akhir ini malah cenderung sering. Semakin akrab mereka berdua maka semakin sering intensitas pertengkaran yang terjadi diantara keduanya. Jika Ares tidak ada, maka suasananya akan sangat sepi dan Dee tentu saja merasa tidak bersemangat bekerja. Begitupula Ares sebaliknya.

Bak bumerang. Dee secara tidak sadar sudah sangat bergantung pada Ares. Semangat atau tidaknya ia di tempat kerja, alasannya 100% berada di diri Ares.

Tapi lagi-lagi masalah waktu.

Dee tidak pernah tau betapa berharganya waktu delapan bulan yang telah di laluinya ini sebelum akhirnya Ares tiba-tiba menghilang dari pandangannya.

Tiba-tiba menghilang.

Tidak lagi berada di sekitarnya.

Dee tidak pernah tau betapa setiap detik waktu yang ia habiskan delapan bulan ini sangatlah berharga.

Jika Dee tau, ia akan lebih menghargai waktu-waktu yang berlalu itu. Ia akan selalu berada di dekat Ares. Tak peduli kapanpun itu.

Jika Dee tau, ia akan tertawa lebih banyak dengan Ares. Ia akan melakukan hal-hal bodoh lebih banyak dengan Ares. Ia akan tersenyum setiap kali bertemu Ares. Ia tidak akan melanggar janji-janjinya terhadap Ares.

Andai saja Dee tau.

Ya..

Andai saja Dee tau bahwa hari ini akan datang.

Ia akan lebih menghargai setiap detik yang diberikan oleh Tuhan untuk bersama dengan Ares.

Karena bagaimanapun Dee menyayangi Ares sebagai teman baiknya.

Jauh di lubuk hati Dee, Ares adalah orang yang begitu spesial. Dia tidak bisa merelakan Ares untuk tidak lagi berada di dekatnya.

Satu bulan yang lalu, Ares mengalami kecelakaan motor. Matanya terluka lumayan parah dan membutuhkan waktu istirahat yang lumayan banyak untuk kembali pulih dan melakukan aktivitasnya lagi.

Diluar dugaan, Ares memutuskan untuk resign dari tempatnya bekerja.

Itu adalah perpisahan yang sangat menyakitkan bagi Dee. Karena bagaimana pun, Ares adalah sumber semangatnya selama ini. Jika Ares tidak ada, maka semangatnya pun ikut hilang.

Di tim itu, yang paling dekat dengan Dee adalah Ares.

"Lo tau, res? Ini patah hati yang paling menyakitkan bagi gue"

Bagaimanapun,

Hampir setiap hari,

Dee sudah terbiasa melihat wajah Ares.

Dee sudah terbiasa mendengar suara Ares.

Dee sudah terbiasa tertawa bersama Ares.

Dee sudah terbiada menghabiskan makan siang di samping Ares.

Dee sudah terbiasa bekerja dengan Ares.

Maka, Dee mengalami patah hati yang menyakitkan.

Ia merasa sakit hati karena sudah ditinggal pas lagi sayang-sayangnya.

Ia menginginkan Ares supaya kembali sehat, namun tak rela jika harus ditinggalkan seperti ini.

Andai Ares tau rasanya ditinggal pas lagi sayang-sayangnya teramat sakit, seperti yang dirasakan Dee... Mungkinkah Ares bisa sekuat dirinya?

Tapi tetap saja, bagaimanapun Ares adalah sebuah kenangan menyenangkan yang sudah tersimpan rapi di dalam hati Dee.

Walau Ares sudah membuatnya patah hati, namun Dee sama sekali tidak menyesal sudah berteman dekat dengannya. Karena sejatinya bagi Dee, Ares tetaplah teman baiknya. Dan selamanya akan tetap seperti itu.

Saturday 6 May 2017

ROSE [Chapter 2]

Rose itu aneh. Dia satu-satunya gadis yang bergabung dalam klub Astronomi Zoldyck. Sifatnya tenang namun tidak teratur, tapi bukan urakan. Maksudku, dia selalu muncul sesukanya, tidak pernah mengikuti jadwal yang telah mereka sepakati sendiri. Kadang dia hanya bengong atau hanya menulis sekedarnya di jurnal yang selalu dia bawa ketika Leon dkk sedang menjelaskan objek penelitian terbaru mereka. Tak jarang dia dan Draco beradu mulut karena perbedaan pendapat. Draco menganggap Rose bahkan lebih menjengkelkan dibanding Hermione Granger untuk urusan sok tau. Draco menilai Rose adalah wanita yang kadar sok tahu-nya mengenai astronomi sering melewati batas dan itu membuatnya jengkel, sedangkan di pihak lain, Rose terlalu yakin bahwa yang ia katakan bukan hanya ‘pendapat’ semata melainkan memang fakta. Sekilas tidak ada yang spesial dari dia, cuman gadis yang sok tahu dan gila astronomi.

Tapi semua pendapatku tentang dia berubah 180° setelah acara camp astronomi di Death Valley. Malam itu entah kenapa aku tidak bisa tidur. Mungkin bintang-bintang di atas lautan pasir gunung  memanggil-memanggilku, meminta untuk dilihat. Yang jelas saat itu, saat keluar tenda aku melihat Rose sedang duduk sila sambil menengadah ke atas langit. Di sampingnya ada api unggun yang cahayanya sudah remang-remang.  Perlahan aku melangkahkan kaki mendekat  ke arahnya.

“Rose!” panggilku.

Gadis itu menoleh mencari siapa yang memanggilnya. Ketika melihatku yang perlahan mendekat, senyumnya mengembang. “Hei, sang Orion”

Aku akhirnya berhenti ketika sampai disamping Rose lalu duduk tepat disampingnya.

“Sendiri?”

“Do you see anyone beside me?”

Aku menggeleng pelan dan tersenyum tipis.

Senyap. Aku dan Rose sama-sama menatap langit tanpa ada satupun yang memulai lagi sebuah percakapan.

“Rose”

“Hm?” ia menoleh ke arahku.

“Beritahu aku sesuatu yang tidak aku ketahui tentang Astronomi,” tanyaku kemudian.

Rose melempar pandangan ke arah rasi bintang Orion yang sekarang sudah hampir hilang. “Tahukah kamu, Orion, setiap kita memandang bintang, kita itu sedang melihat masa lalu.”

Aku mengalihkan pandanganku kepadanya, hari itu adalah pertama kalinya aku benar-benar memperhatikan wajah Rose secara dekat. Di cahaya remang api unggun itu, wajahnya nampak sepuluh kali lebih cantik dari biasanya. Aku menikmati wajah itu,  wajah yang sedang menatap langit yang penuh percikan walau tanpa satelit bumi yang bercahaya. Dia dan langit seolah menyatu dalam satu lukisan bernilai jutaan.

“Kita bisa melihat bintang-bintang itu sekarang karena cahaya yang mereka pancarkan ribuan tahun lalu. Yang artinya, kita sedang melihat kondisi bintang tersebut ribuan tahun lalu. Mungkin sekarang bintang tersebut sudah tidak ada, sudah mati menjadi dwarf, bisa juga sudah mengalami ledakan dahsyat supernova dan berubah jadi bintang neutron atau black hole”

Aku masih khusyuk mendengarkan, tidak menyela ucapannya, membiarkan dia menjelaskan.

“Contohnya bintang yang paling dekat dengan bumi yaitu matahari yang cahaya nya membutuhkan waktu 8 menit 20 detik untuk mecapai bumi. Maka jika kamu saat ini melihat matahari, itu adalah cahaya matahari yang dilepaskan lebih dari 8 menit yang lalu. Jika matahari tiba-tiba menghilang kamu tidak akan menyadarinya hingga 8 menit 20 detik kemudian. Lalu yang lebih jauh, kita bisa melihat galaxy Andromeda di langit dengan mata telanjang. Jarak rata-rata galaksi Andromeda adalah 2,5 juta tahun cahaya dari Bumi, Orion. Itu artinya, ketika kita melihat galaksi Andromeda saat ini, berarti kita sedang melihat kondisi galaksi Andromeda 2,5 juta tahun yang lalu”

Aku terpaku, terpesona akan apa yang dikatan Rose barusan, “Itu hal terindah yang aku dengar hari ini,”

Rose tersenyum, "Alam semesta adalah ruang waktu ajaib, Orion"

Aku mengangguk dan untuk pertama kalinya aku mempunyai alasan yang membuatku tidak menyesal telah bergabung dalam klub astronomi Zoldyck itu.

Kemudian kami melanjutkan sisa malam itu berdua. Mengobrol banyak hal tentang astronomi bahkan filsafat.  Rose punya sesuatu yang bisa aku sebut 'The Mind of Philosoper', dia selalu mencari makna lebih dari sekedar hidup. Dia bilang kita ini hidup di dua realitas. Realitas trivial, realitas tempat kita hidup sehari-hari, dan realistas transendens, atau realistas yang hanya bisa di capai sama orang-orang yang mempunya pemahaman wisdom yang cukup tentang dunia yang kita tinggali.

Kata-kata Rose kala itu seperti magnet yang menarikku ke dalam pusaran yang berisi labirin pemikiran dia. Terlebih dengan apa yang dia katakan dulu tentang dia yang berasal dari nama rasi bintangnya, Carina. Aku tidak tahu apakah dia hanya membual atau benar-benar serius. Yang jelas waktu itu, aku benar-benar terpikat olehnya. Aku tidak bisa menyangkalnya, aku jatuh cinta.


...........................


Tiga bulan setelah obrolan di camp itu aku resmi berpacaran dengan Rose.  Jangan tanya kenapa karena sampai detik ini pun aku tidak tahu kenapa Rose waktu itu mau berpacaran denganku. Tapi harus kalian tahu, dibanding pasangan lain, gaya berpacaran kami sangat berbeda. Jika pasangan lain peluk-pelukan mesra dan romantis setiap saat, maka kami lebih memilih menghabiskan waktu bersama meneliti suatu objek atau menghabiskan malam dengan duduk berdua sambil memandang langit, bertukar pikiran.

Karena untukku, dan mungkin sama halnya untuk Rose, melihat bintang di malam itu magis, sekaligus romantis.


September 2010

Hari itu aku datang ke Apartemen Rose. Dia mengajakku ke reading room nya, yang ternyata penuh berisi buku filsafat, ilmu perbintangan, sejarah-sejarah kuno, bahkan buku yang sudah sangat usangpun berada disana. Aku kaget sekaligus takjub.

“Aku tidak pernah tau kamu mengoleksi buku-buku ini” kataku mengambil salah satu buku di meja belajarnya, 'The Journey of Astronom' tahun terbit 1978. “Maksudku, aku tidak menyangka kamu tertarik dengan buku-buku yang sudah lama diterbitkan.” kataku sembari tertawa.

Rose hanya tersenyum tipis melihatku.

Ruangan khusus yang dibuat oleh Rose ini seperti dunianya sendiri. Dindingnya ia tempel dengan berbagai macam foto dan artikel-artikel seputar luar angkasa. Benda-benda kuno pun tak kalah ikut menghiasi tempat ini. Di samping meja belajar terdapat sebuah radio yang persis seperti  yang sering ayahku dengarkan, katanya radio itu milik kakekku. Aku berjalan mendekati benda itu penasaran, radio itu jelas terawat karna walaupun bisa di bilang benda antik namun tidak ada debu yang menempel di atasnya. Tanganku tidak sengaja menekan salah satu tombol, sedetik kemudian lantunan musik klasik terdengar memenuhi ruangan.

Mataku refleks menatap Rose, takut-takut ia marah atas hal yang aku lakukan. Namun dia hanya nyengir mendekatiku.

"Aku tidak sengaja menekannya" ucapku berbisik tepat ditelinganya saat ia berada di depanku.

Ia mengangguk kemudian tersenyum, "Mau berdansa?"

Aku terdiam sesaat, tapi kemudian mengembangkan senyum.

Kami menggeser beberapa forniture yang menghalangi kami supaya lebih ada spice yang membuat kami bisa leluasa menari kesana kemari. Setelah dirasa cukup, aku berjalan menghampiri Rose bak pangeran yang akan mengajak sang putri untuk berdansa. Aku menjulurkan tanganku kemudian mengecup punggung tangan Rose yang sudah meraih uluran tanganku. Aku membawanya ketengah, tangan kananku menggenggam erat tangan kirinya, sedangkan tangan yang satunya melingkar dipinggangnya.

“Im glad to have you, Rosie” kataku.

Ia tersenyum.

Wajah Rose tepat berada di depanku. Hal itu adalah hal romantis pertama yang kami lakukan selain melihat bintang, setidaknya itu menurutku karena apa yang kami lakukan itu sudah layaknya seperti dongeng disney yang sering ditayangkan di televisi, berdansa diiringi lagu klasik romantis. Aku tidak pernah membayangkan akan melakukan hal ini dengan gadis seperti Rose.

Kami sangat dekat bahkan aku takut Rose bisa mendengar suara pacuan jantungku yang berdebar kencang. Aku tidak bisa tidak tersenyum saat kedua bola mata kami saling bertatapan. Sungguh, aku menyukai setiap inci wajah itu, aku menyukai mata birunya, aku menyukai caranya tersenyum padaku. Aku menyukai segalanya tentang gadis didepanku ini.

"Aku bisa gila" kataku prustasi di sela-sela dansa kami.

"Apa?"

"Aku mencintaimu, Rose"

Rose tersenyum, "Tau apa yang paling aku cintai di bumi ini, Orion?"

"Apa?"

"Astronomi dan kamu"

Aku tersenyum. Rose memang tahu bagaimana membuat jantungku memacu lebih cepat dari biasanya.



Malam itu setelah berdansa, kami pergi ke atap Apartemen. Membawa Teleskop, melakukan kegiatan yang hampir setiap malam kami lakukan. Melihat langit. Bagiku, melihat langit bersama Rose adalah salah satu hal terbaik dalam hidupku.

Rose merebahkan tubuhnya di atap gedung itu, membiarkan teleskopnya menatap langit tanpa dia pandang. Aku ikut merebahkan tubuhku disampinya. Membiarkan mata telanjangku menatap langit yang bertaburan bintang di atas sana.

“Orion, kamu mau kuberi tahu rahasia?” Rose tiba-tiba memecah keheningan di antara kami.

Aku mengalihkan pandangan dan menatap Rose, “Apa?”

Mimik wajah rose berubah serius, “Berjanjilah tidak akan memberitahu siapa pun”

Aku mengangguk cepat, berubah serius.
“Aku bukan orang bumi”

Deg. Perkataan Rose mengejutkanku, “Eh?”

“Kamu lihat rasi bintang Carina itu?” Rose menujuk sekumpulan bintang di langit selatan, bergerak mengikuti garis imajiner yang dia kenal diluar kepala, membentuk lunas kapal. Telunjuknya kemudian menunjuk salah satu bintang di bagian bawahnya. “Kamu lihat bintang yang paling terang itu?  itu adalah Canopus, bintang terterang di Carina dan salah satu bintang terterang di angkasa”

Aku masih menatapnya bingung.

“Kamu lihat pusaran cahaya dibalik rasi itu? itu nebula Carina. Di situlah aku tinggal”

Aku terperangah, masih mencoba mencerna apa yang Rose katakan. “Tapi bagaimana bisa? Bukankah bintang itu sangat panas dan tata surya itu hampa udara?”

“Tentu saja bisa, tubuh kami tidak sama dengan makhluk bumi seperti kalian. Tubuh kami dirancang untuk beradaptasi dengan semua itu. Suhu bintang-bintang itu sudah normal bagi kami, bahkan kami tidak butuh udara untuk hidup.”

Rose kemudian menatapku yang masih mengeryitkan dahi bingung. “Aku tahu kamu sulit percaya, tapi aku mengatakan yang sebenarnya. Aku hanya merasa harus mengatakannya padamu, Orion”

Aku mengeryitkan dahi, itu tidak masuk akal. “Lalu, bagaimana bisa kamu sampai kesini?”

“Dulu pusaran cahaya itu tidak ada. Yang ada hanyalah bintang dirasi itu.” Tatapan Rose berubah sendu. “Aku tidak bisa menjelaskannya secara detail, yang jelas kala itu sang bintang meledak dan menyisakan nebula itu. Sesaat sebelum meledak, orangtuaku memasukkanku ke dalam sebuah kapsul dan diluncurkan jauh dari tempat itu”

“Pada akhirnya kapsul itu mendarat di bumi?”

Rose mengangguk. “Awalnya sangat sulit untukku beradaptasi dengan lingkungan kalian, Orion. Aku melewati bertahun-bertahun dengan penuh kesulitan sebelum akhirnya sampai pada titik ini.”

“Tapi sudah berapa lama, Rose?”

“Lama sekali. Aku barada disini sejak kalian belum mengenal teleskop, sejak kalian  masih mengandalkan mata telanjang untuk melihat bintang sebagai petunjuk arah”

“Jadi maksudmu, usiamu-”

“Kami tidak mengenal usia, Orion. Bahkan tepatnya aku sendiri tidak mengetahui berapa tahun usiaku, benda-benda dan buku-buku yang kamu lihat di room book adalah benda yang memang aku miliki, aku mempunyai kenangan sendiri dengan benda-benda itu dan meyimpannya dari tahun ke tahun"

Lidahku mendadak kelu. Aku tidak tahu harus mengucapkan apa, lebih tepatnya aku bingung harus menghadapi situasi ini seperti apa.

"Aku tidak memaksamu untuk tetap bersamaku, Orion."

"Apa yang kamu pikirkan? Aku akan tetap bersamamu, Rose" kataku cepat.

Rose menatapku, raut wajahnya tak seserius tadi.

"Terimakasih, Rose. Terimakasih karena mau mengatakan yang sebenarnya kepadaku"

Dan pada hari itu, dalam satu hari, dia berhasil membuatku dua kali jatuh cinta. Dan aku tidak pernah mengingkari apa yang sebelumnya aku katakan bahwa aku menyukai segala sesuatu tentang Rose, termasuk asal usul dan masa lalunya.

Sunday 30 April 2017

HBD SAA!!!

Happy birthday, sa! Selamat mengulang tanggal 30 April lagi semenjak pertama kali semesta mendengar suara tangisan perdana lu sembilan belas tahun silam. Yaela ribet banget bahasa gua -_-

Selamat bergabung jadi anak sembilanbelasan! Ciee yang udah dewasa, udah bisa dong bete-betenya dikurangin, dewasa sa, dewasa... Ciee umurnya samaan, gausah ngebully gua masalah umur lagi lo ya ehe. Lu kan suka ngatain tua gara-gara kadang gua suka lupa sama suatu hal, tapi 'lupa' itu  kan sifat alamiah orang idup tauuu, tanda tanda orang masih idup ya salah satunya lupa *bener gak sih gua wkwkw. Eh tapi fyi, I never forget the important things, gua akan ingat sama suatu hal yang gua rasa emang harus gua ingat. Contohnya ya hari ini.

Gimana rasanya jadi anak Sembilanbelas sa? Kalo gua sih biasa aja. (Pliss lu gosah protes eheh)

Gua baru beres nonton 13 reasons why sebelum akhirnya ngetik ini. Hannah sering bilang kalo friendship is complicated, gua setuju sih sama Hannah emang bener ya kalo friendship is sooooo damn complicated. Sebenernya gua pengen sedikit cerita sa, tapi nanti aja kali yaa, gua ngetik ini kan dalam rangka memperingati tanggal 30 April.

Dulu pas gua duduk di gedung dua sambil liatin tiga orang anak baru yang keliatannya bingung mau ngapain, gua dalem hati ngomong 'pasti bingung mau ngerjain apa, gua juga dulu gitu', saat itu gua belum tau kalo besok lusa salah satu dari tiga orang itu bakalan jadi sahabat baik gua.

Dulu juga sempet bete gua dipindah ke Aerosol, tapi sekarang malah bersyukur. Karena dulu kalo ga gitu, sekarang gabakalan gini. Gua ga bakalan tau tuh kalo ada manusia macem lu diemperan bogor sana wkwkw.

Karena seperti yang Tere Liye bilang, katanya "Tidak ada kebetulan di muka bumi ini. Bahkan sebuah kebetulan yang amat kebetulan adalah tetap rencana Tuhan yang tidak pernah meleset walau sepersejuta mili." Iya mungkin udah rencana tuhan ya sa. Ya apapun itu gua seneng bisa kenal sama lu.

Abis lu tuh gimana ya ...Asik we gitu. Hobi sama, sama-sama suka korea, superr nyambung diajak ngobrol/chat nya, dan yang paling utama superr tahan ngadepin tingkah ajaib gua. Diantara sedikit orang yang gua anggap sahabat, lu yang paling paling dah. Paling apa? Serah lu apa aja boleh.
Terlepas dari segala perbedaan kita, misal lu suka Kai gua suka June. Gua suka film sad ending, lu nggak. Gua suka Hawry Potta, lu nggak. Lu suka moto gp, gua suka moto in orang yang lagi mesra-mesraan dipinggir jalan. Ya kalo dalam segala hal kita punya selera yang sama rasanya nanti datar, lempeng lempeng aja, kurang seru, ga ada bahan untuk di perdebatkan, ya gak sih? Iya aja napa. Ehe.
Jenis persahabatan kita tuh kaya apa ya sa?  Gua tau lu susah ngerti sama jalan pikiran gua apalagi sama kadar imajinasi gua yang suka kelewat tinggi, ngalahin tinggi gunung jaya wijaya di papua sana, tapi hal terbaiknya lu tetap sabar dan betah betah aja sahabatan sama gua, ko lu bisa betah sih sa? Aneh hahaa you da best memang. Menurut lu kalo di kategorikan persahabatan kita tuh masuk kategori mana ? Menurut gua sih...umm kategori ganda campuran Asia Championship 2017 *ga sekalian sea games di -_- *

*eh kok ganda campuran sih* -___-
But Whatever, Im glad we gotten sooo close, padahal Intensitas perkenalan kita terbilang sebentar kan ya dulu. Tapi malah sebentar itu yang bikin membekas lho sa. Misalnya, moment Gua - Lu - Temen gua - dan Mesjid ...jadi salah satu moment termembekas selain gua ngajak lu selfie pas lagi neduh di warung gegara hujan.

HAHAHAHA  bentar gua ketawa dulu.


Kembali ke ulang tahun lu, saaa maaf gua belum bisa ngasih macbook *lu pernah bilang kan kalo pingin di kadoin macbook sama gua? Gua bukannya ga mau beliin sa, cuma yaaa kalo minta kado tuh yang masuk akal sedikit kenapa, minta ttd gua gitu kalo gak minta foto bareng kan jauh lebih berfaedah :D Daripada ngasih macbook gua lebih bisa ngasih lu waktu. Gua memang ga ada langsung di tempat lu berada, gatau gimana-gimana lu disana, gatau lu punya masalah apa,  apa yang bisa gua bantu, apa yang seharusnya ga gua ucapin ato lakuin, tapi lu kan tau kapan pun lu butuh gua, gua ada. Lu masih save nomor gua kan? Tinggal pencet nomor gua, sms ato chat kalo ngerasa emang lagi butuh gua   *cielah jadi melankolis, kebanyakan nonton drama jadi kelewat baper gua-___- 

Kalo doa, setiap lu ada masalah gua selalu berdoa yang terbaik untuk masalah lu. Ga harus panjang umur yang penting selama lu hidup selalu di sabarin untuk ngadepin masalah apapun sampai akhirnya lu bisa bahagia dalam keadaan apapun. Gua doain juga semoga planning-planning lu di tahun ini bisa segera terealisasi, juga semoga lu secepatnya dapat pekerjaan yang paling baik, yang memang lu pengen dan paling utama lu seneng ngerjain hal itu.
Pokoknya All the best for you, semua yang terbaik buat lu. Ga ada doa yang jelek buat orang yang lagi nambah usia (dunia), sebenernya banyak doa gua buat lu tapi pada mabur entah kemana pas gua ngetik ini jadi gua ketik yang gua inget aja. Ehe.

Sekali lagi!!! selamat ulang tahun sa! Selamat tambah tua! Happy birthday, sorry I can't give you anything, there's no special gift or sweetmessage. I just hope Allah always give you happiness, sa. Amin =D

Thanks for being such a crazy fun friend to meeeehhh.

Barakallah fii umrik, enjoy being Nineteen Saa!!!



From ur Fave Alien,

Di.

Sunday 16 April 2017

ROSE [Chapter 1]

October, 2009

Malam yang dingin di bulan Oktober. Tapi persetan dengan udara, cuaca sama sekali tak mempengaruhi tim Astronomi Zoldyck. Di atap gedung lantai dua belas mereka duduk tenang di depan teropong masing-masing, mata-mata mereka lekat memperhatikan objek yang terlihat dibalik kaca-kaca ajaib itu dengan penuh konsentrasi.
Sekali lagi aku merekatkan jaket karena kedinginan. Demi Tuhan aku benar-benar gila telah mengiyakan ajakan Leon yang memaksaku bergabung ke dalam klub Astronomi ini.

"Hei anak baru! Mau sampai kapan berdiri mematung disitu?"

Aku menoleh, tak jauh disana Leon berjalan kearahku. Sialan, gerutuku. Leon malah cekikikan.

"Kamu belum terbiasa dengan suasananya saja, Dann"

"Kau gila, aku bisa mati membeku disini" bisikku tepat ditelinganya.

Leon tertawa terpingkal. "Kelak kamu akan tergila-gila pada Astronomi, Danny Hood" pungkas Leon.

"Semuanya, aku meminta waktu kalian sebentar. Aku akan mengenalkan seseorang, anggota baru kita" Kata Leon.

Tak lama semua anggota yang sedari tadi asyik bermain dengan benda benda aneh itu mengelilingi aku dan Leon.

"Anggota baru?" ujar Laki-laki berambut pirang sinis menatapku.

"Benar, Draco. Ini anggota baru kita, sahabat baikku. Danny Hood" kata Leon memperkenalkan aku.

"Oh hai, saya Danny. Mahasiswa Bunharg University" kataku kikuk.

Suasana hening sedetik kemudian berubah menjadi riuh. Lima orang yang berada disini bertepuk tangan.

"Dann, perkenalkan ini Ron Crux, lalu Zudy Aries, Lukas Draco, Peter Lepus, Miller Pictor, dan aku sendiri Leon Leo" Leon menerangkan.

Aku menatap Leon heran. Leon Leo katanya? Jelas-jelas namanya Leon Fleur.

Seolah mendengar pikiranku, Leon menimpali, "Disini masing-masing anggota memiliki nama khusus, Dann. Panggilan di klub, kami menggunakan nama rasi bintang."

Aku diam karena tidak mengerti.

"Kita harus memanggilnya apa?" tanya laki-laki kecil bernama Ron Crux.

Leon memandangiku kemudian mengusap-ngusap dagunya. "Hmm.. Bagaimana jika Orion? Ya benar, anggota baru kita, Danny Orion"

"Pilihan yang bagus" kata Peter Lepus.

Aku memelototi Leon. Orion katanya?

"Yah, bagus sekali. Orion, selamat bergabung dalam Zoldyck" kata Miller Pictor menyalamiku.

"Artinya sang pemburu. Keren bukan?" bisik Leon ditelingaku.

Disisi lain, Zudy Aries memanggilku. Ia menjelaskan sedikit tentang benda-benda yang mereka gunakan untuk melihat bintang. Dia mempersilahkanku untuk pertama kalinya melihat langit menggunakan teropong bintang.

Perlahan mataku mendekat pada permukaan kaca teropong. Napasku tertahan melihat taburan bintang diatas sana. Luar biasa indah. Diantara mereka, ada satu yang paling bersinar. Aku memperhatikannya lekat dibalik kaca teropong ini.

"Itu Jupiter. Malam ini ia berada di posisi terdekat dengan bumi sehingga tampak lebih terang. Yang bertaburan didekatnya itu satelit Galilean" jelas seseorang, sepertinya kata-katanya ditujukkan kepadaku.

Aku mengalihkan pandangan ke sumber suara itu. Gadis dengan tinggi berkisar 160cm berdiri di sebelahku. Ia menggunakan mantal tebal dan syal merah. Rambutnya hitam panjang, matanya cerah berwarna biru. Kulit wajahnya sedikit pucat.

"Aku Rose" kata gadis itu.

"Oh hai, aku Danny"

"Selamat bergabung" katanya.

Aku tersenyum.

"Hai, Carina, kapan kamu datang?" sapa Leon.

"Baru saja" jawab Rose.

Aku masih memperhatikan gadis itu karena sebelumnya Leon tidak pernah memberitahuku jika klub ini memiliki satu anggota perempuan.

Saat mata kami tidak sengaja berpapasan aku buru-buru mengalihkan pandangan.



December, 2009

Crux muncul di ujung tangga sembari menunjukkan jaket kulit bulu berwarna cokelat yang baru dibelinya. Edisi terbatas katanya, tidak heran ia sangat antusias membahasnya.

"Ini lebih mirip jaket Mancy, nenekku" kata si rambut pirang, Draco.

"Kau tidak paham fashion jaman sekarang, Draco"

"Aku berani bertaruh, jaket Mancy jauh lebih baik," Draco berkomentar lagi.

"Ibuku bisa membuat yang jauh lebih keren dari itu" timpal Leo membuat Draco tertawa terpingkal.

Crux menggerutu kemudian mendekatiku.

Aku yang ikut tertawa mendadak diam ketika Crux Menatapku.

"Tentu saja keren. Ini luar biasa" komentarku.

"Kau memang sahabat baikku, kawan." Crux nyengir. "Tidak seperti mereka" sambung Crux sembari menatap sinis pada Draco dan Leo yang masih tertawa terpingkal.

"Mereka hanya bergurau" kataku.

Crux kembali pada teleskopnya. "Kamu sudah mulai mencintai Astronomi, Orion?"

Aku menggeleng, "Entahlah, tidak begitu yakin"

"Hei. Sebentar lagi kamu akan tergila-gila, malam ini akan ada hujan meteor, Orion!"

"Aku tahu, Ron. Semua orang disini membicarakannya"

"Crux, Orion! Sudah berapa kali aku-"

"Baiklah, maksudku Crux" ralatku.

"Kamu akan jatuh cinta dengan Astronomi setelah melihat hujan itu, aku jamin"

"Oh ya? Bagaimana kalau tidak?"

"Aku akan menjodohkanmu dengan Carina" kata Crux sembari menatapku. 

Aku tertawa.

"Kenapa? Bukankah kalian berdua cocok? Lagipula, kalau nantinya kamu mencintai Astronomi, kamu pasti juga akan mencintai Carina"

"Hentikan gurauanmu, Crux" kataku.

Di ujung sana, Rose baru saja datang. Wajahnya pucat seperti biasa, aku heran apakah setiap hari Rose memang selalu pucat atau bagaimana.

Sudah hampir dua bulan aku bergabung di klub dan aku lumayan menyukainya. Maksudku, ia bukan tipe gadis yang membosankan, walau yaa tidak begitu menyenangkan juga. Ia tidak banyak bicara juga tidak banyak tertawa. Tapi diantara semua anggota, aku pikir Rose yang paling hebat dalam Astronomi.

Aku berlalu meninggalkan Crux yang telah fokus pada teleskopnya.

"Kau baik-baik saja?" aku bertanya pada Rose.

Dia mengangguk. "Luar biasa baik. Hujan meteor terbaik tahun ini akan segera di mulai"

"Kalian begitu antusias" kataku tertawa kecil.

Rose menatapku, "Apa kamu tidak antusias, Orion?"

"Aku antusias, tapi mungkin kadar antusiasku di bawah rata-rata kalian"

Rose tertawa. Aku juga mengikuti tawanya.

"Kamu tahu kenapa kami begitu antusias? Soalnya meteor yang tampak dari rasi Gemini ini berasal dari sisa pecahan obyek yang dikenal sebagai 3200 Phaethon , yang dulunya diperkirakan merupakan asteroid. Sekarang, Phaethon sudah menjadi komet yang punah. Jadi sebenarnya, Phaeton ini hanyalah kerangka batuan dari komet itu dan sudah kehilangan es setelah berkali-kali melintas Matahari dari dekat.–"

"Nah, Bumi yang melintas dalam aliran puing-puing 3200 Phaethon setiap tahun pada pertengahan Desember akan menyebabkan puing-puing itu terbang dari rasi Gemini. Tepatnya di dekat bintang terang Castor dan Pollux. Dan meteor yang jatuh kecepatannya sampai 160 perjam." Aku meneruskan keterangan Rose. "Pictor sudah mengatakannya berulang kali, Car.”

Rose tertawa lagi. "Baiklah, bagus kalau begitu" ucapnya. 

Aku tertawa. Kali ini kami berkonsentrasi dengan teleskop masing-masing.

Berjam-jam berada disini artinya mengikhlaskan tubuhku ditikam oleh dinginnya udara malam bulan Desember.  "Sampai berapa lama kita menunggu disini, Rose? Eh maksudku Carina"

"Sampai tengah malam, Orion."

Masih tersisa satu jam lagi. Sekali lagi aku menggosok-gosokkan lengan pelan. Rose tersenyum geli disampingku.

"Bersabarlah. Akan sayang sekali melewatkan hujan meteor terbaik akhir tahun ini" kata Rose.


Aku mengangguk berusaha tersenyum.

Disisi lain, Lepus kembali dengan membawa beberapa minuman hangat dinampan.Ia membagikan satu cangkir pada setiap anggota.

"Ini untukmu, Sobat" kata Lepus ketika giliranku.

"Terimakasih" ucapku senang.

"Dan ini untukmu, Car" kata Lepus pada Rose.

"Terimakasih banyak, Lepus" kata Rose.

"Dengan senang hati, Carina. Kau tahu, aku tidak sabar menantikan langit tengah malam ini" kata Lepus.

Rose tersenyum, "Begitupula aku, Lepus"

Lepus tersenyum meninggalkan kami dengan semangat menuju teleskopnya.

"Aku heran kenapa kalian memanggil satu sama lain menggunakan nama-nama aneh itu"

Rose menoleh padaku. "Sudah kesepakatan sejak awal terbentuknya klub ini."

Aku terdiam.

"Nama-nama kami memiliki arti, Orion" kata Rose kemudian. 

Orion sering di sebut-sebut sebagai sang pemburu. Rasi yang paling terkenal dan mudah dikenali di angkasa. Orion sangat bermanfaat dalam menentukan letak bintang-bintang lain. Dulu sekali, pelaut Austronesia menggunakan Orion sebagai pembantu petunjuk garis khayal barat-timur.

Ron memilih Crux sebagai namanya yang berarti salib selatan. Crux sendiri merupakan rasi bintang terkecil diantara 88 rasi bintang modern, tetapi juga salah satu yang paling dikenal. Diantara semua anggota, Ron memang memilikki badan yang paling kecil.

Aries dipilih Zudy karena merupakan rasi zodiaknya.

Lucas memilih Draco yang bahasa latinnya berarti Naga. Draco juga merupakan salah satu rasi bintang yang paling lama diketahui. Dianggap selalu ada karena rasi bintangnya tidak pernah terbenam. Diantara anggota lainnya, Lucas Draco terlihat paling dingin dan kurang bersahabat, tapi sebenarnya ia manusia yang hangat.

Peter Lepus. Rasi bintangnya terletak sedikit di selatan ekuator langit, tepat setelah Orion. Lepus juga bisa diartikan sebagai Kelinci. Peter Lepus sangat lembut, berbeda dengan angggota yang lain.

Miller Pictor yang merupakan konstelasi di langit Selatan Belahan Bumi. Pictor sendiri berasal dari bahasa latin yang berarti pelukis. Ia memilihnya karena sesuai dengan latar belakangnya yang merupakan seorang seniman.

Sedangkan Leon memilih Leo bukan karena memiliki kemiripan nama. Namun terlebih ia menyukai cerita dibalik nama rasi bintang ini. Leo dikenal dengan julukan Sang Singa, Raja Langit.

"Lalu kamu? Kenapa kamu memilih Carina?"

Rose terdiam, hingga untuk beberapa saat sunyi menyergap diantara kami.

"Karena aku berasal dari sana" ucapnya sambil menatap langit dengan pandangan menerawang.

Ketika itulah aku tidak melihat percik sinar cerah di mata Rose.  Apa maksudnya 'berasal dari sana?'

Aku terdiam, menyesapi keadaan. Bagiku, hujan meteor yang akan jatuh tengah malam ini tidak lagi menarik. Ada Rose dan sejumlah misteri di belakangnya yang jauh lebih menggelitik hatiku.

ROSE


"You love too hard," they said.

"It's the only way to love," I replied.



 •P        R       O        L       O        G•


New York, Juli 2015


Nyonya Hood kembali menyembulkan kepala dari balik jendela mobil. “Ingat apa yang ibu bicarakan tadi,”

“Oh, satu lagi, hentikan kebiasaanmu membeli makanan siap saji. Ibu sudah menyiapkan segalanya di kulkas, yang perlu kamu lakukan hanya memasaknya” sambung Nyonya Hood.

Danny mengangguk. “Aku mengerti, ibu sudah berulang kali mengatakannya”

“Ibu akan datang lagi bulan depan” ucap perempuan setengah baya itu.

“Ibu tidak harus repot-repot kesini setiap bulan. Ibu tahu, aku sudah 25 tahun”

“Ibu akan tetap melakukannya walau usiamu 50 sekalipun”

Danny tersenyum lalu mendekati wajah ibunya, “Aku akan menuruti semua yang ibu katakan. Jangan khawatir”

Nyonya Hood tersenyum. Danny melangkahkan kakinya mundur. Mobil sedan hitam itu kini meninggalkannya. Sekali lagi, ia melambaikan tangan sebelum mobil itu benar-benar lenyap dari balik gedung-gedung tinggi kota New York.


Di dalam Apartemen, Danny menghempaskan tubuh ke sofa. Matanya melirik bingkisan yang ditinggalkan sang Ibu untuknya. Danny bangkit ingin memeriksa. Ia mengambil secarik kertas yang di letakkan dekat bingkisan tersebut.


Jaga dirimu supaya tetap hangat.
Kali ini kamu harus mendengarkan ibumu. Berhenti menggunakan teropongmu di atas atap atau di atas gunung sekalipun. Kamu harus mematuhinya jika benar-benar menyayangi ibu, Danny.

Ibu menyayangimu,


Danny tersenyum simpul meraih syal merah di dalam bingkisan tersebut.

Di sudut lain Apartemen, teman satu atapnya yang bernama Leon sedang melihat pantulan dirinya di depan cermin, ia sedikit membetulkan posisi dasi sebelum menyeringai dan mendatangi Danny.

"Kamu beruntung mempunyai ibu super perhatian seperti Nyonya Hood" ucap Leon yang kini duduk di depan Danny,  "Ibuku tidak pernah seperhatian ini" sambungnya.

Matanya melirik penampilan Leon yang begitu rapi, "Sudah mau pergi?" tanya Danny.

Leon menatap jam tangannya, "Sebentar lagi." katanya, "Jadi, apa yang ibumu katakan?" tanya Leon kemudian.

Danny merebahkan tubuhnya, menatap ke atas menerawang,  "Ibu menyuruhku berhenti melihatnya"

Leon menatap sahabatnya kasian. "Mungkin sudah saatnya, Dann"

"Aku tidak bisa, Leon"

Leon terdiam. Mendadak sepi menyesapi keduanya.

"Lima tahun berlalu, Danny" ucap Leon setelah beberapa lama.

"Dan perasaanku masih sama," kata Danny.

Leon menarik napas kasar, jengkel menatap sahabatnya itu. "Kamu pikir diluar sana gadis itu sama merananya sepertimu? Bisa saja dia malah bersenang-senang dengan kehidupan barunya. Bisa saja dia bahagia disamping pria lain."

Danny mengalihkan pandangannya pada Leon, ia tidak setuju dengan gagasan sahabatnya itu. Danny malah khawatir jika diluar sana gadis itu kesepian.

"Kamu tidak mengerti, Leon" keluh Danny.

"Benar. Aku sungguh tidak mengerti dengan hatimu, Dann. Jika aku jadi kamu, aku tidak akan menyia-nyiakan waktu berhargaku hanya untuk seorang gadis,"

Danny terdiam.

"Lagipula kamu sudah memiliki Lily, Dann. Cobalah untuk 100% mencintainya" kata Leon.

Danny menghela nafas panjang. Ia menghargai Leon. Ia tahu diam-diam Leon masih mengkhawatirkan dirinya. Teruma sekali karena sifatnya lima tahun belakangan ini yang cenderung tertutup, memilih menyibukkan diri dengan pekerjaannya. Dulu, bahkan teman-temannya sering mengejek jika Danny mungkin akan hidup membujang seumur hidup. Tapi kemudian Lily datang, adik kelasnya di Universitas mematahkan gagasan itu. Ia berpacaran dengan Lily.

"Rose.. Gadis itu, aku hanya sangat merindukannya, Leon" ucap Danny lirih.